Postingan

Flashdisk yang Lari Entah ke Mana

 Sepulang kuliah dia mengangkati pakaian yang masih ia tinggal di atas tali jemuran pada saat berangkat kuliah tadi. Ia mengangkat dan meraba-rabanya dan mendapati pakaiannya masih belum kering. "Bangsat," pikirnya, sudah seharian tapi belum kering juga. Ia mulai ingat bahwa seharian tadi awan begitu mendung dan sinar matahari tak bisa menembusnya. Tapi kelas tak terasa sumuk karena terdapat AC. Dengan AC itu ia justru kedinginan seperti saat berkencan dengan Rani di bioskop beberapa waktu lalu. Menonton film perang dan duduk di deretan kursi paling belakang. Sambil berharap mendapat genggaman tangan Rani yang sudah lama ia imajinasikan. Tetapi hari itu ia kurang beruntung karena tak mendapatkannya. Rani terlalu serius menonton film sedangkan ia justru sibuk berharap-harap cemas. Sepulang dari bioskop hari itu, ia menemui teman lamanya yang berjualan dimsum di seberang gedung bioskop. Mereka makan di sana, di pinggir jalan sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang. Selesai

Sepasang Sepatu

Ia masih mencari pensil yang tak sengaja ia tinggalkan di atas meja kerjanya. Ia meninggalkan pensil itu ketika beranjak keluar untuk makan siang dan masih terus kepikiran ketika sudah duduk di meja makan dan ia tak mendapati pensil itu ada di tempat seharusnya saat merogoh saku kiri bajunya. Meja kerjanya cukup memakan waktu dari restoran tempatnya makan, dan ia tidak mungkin tiba-tiba pergi mencari pensil sedangkan di hadapannya masih ada seorang klien yang sudah membuat janji dengannya sejak sebulan lalu. Tetapi sepanjang pembicaraan siang itu ia masih meresahkan pensilnya.  Dahulu ia mendapatkan pensil itu ketika masih berseragam himpunan. Ketika bertemu seorang gadis Belgia. Mereka begitu akrab hanya dalam waktu yang singkat. Dan saat kepulangan gadis itu ke Belgia, gadis itu menitipkan padanya sebatang pensil untuk dibawanya lagi ketika kelak ia melakukan kunjungan balasan ke Belgia, untuk menjemput cita-cita dan bakal kekasihnya. Sejak itu si pensil terus dibawanya ke mana saja

Guru-Guru Magis

Akhir-akhir ini aku sering kedatangan tamu dalam tidurku. Ia selalu minta kopi dan rokok kretek Gudang Garam Merah, rokok yang juga jadi andalanku ketika musim kemarau tiba. Katanya, ia adalah aku di masa depan. Tapi kadang aku tak percaya karena ia bukan orang yang pendiam. Sekali waktu ia datang ke tidurku setelah seharian aku berada di depan laptop, dari pagi sampai malam, menyelesaikan tugas-tugas mahasiswa yang malas berpikir. Aku memasang tarif cukup rendah karena target pasarku adalah kampus-kampus dengan populasi mayoritas mahasiswa tingkat ekonomi menengah ngehe. Di akhir-akhir semester aku biasanya mendadak kaya dan akan kembali miskin di tengah-tengah semester. Agak melelahkan, tetapi tidak cukup membuatku jera dengan pekerjaan ini. Waktu itu, Si Bianglala, yang suka mendatangiku akhir-akhir ini, bicara cukup panjang hingga membuat tidurku terasa melelahkan. Begini persisnya: “Orang yang gemar membuka mulut biasanya juga punya kegemaran menutup pikiran. Meskipun tidak

Mari Mulai Mendengarkan Souljah

Sebagai seorang yang tertarik pada wanita, aku mempunyai selera sendiri, dan tentu kau juga begitu. Tapi kadang aku menemukan istilah ‘Si Paling Cantik’ di dalam sebuah habitat. Atau mungkin kau sering mendengar istilah ‘Kembang Desa’. Dua hal itu intinya sama saja; selalu merujuk pada seseorang yang banyak disukai oleh lelaki di sekelilingnya. Bahkan sesekali aku merasa kalau apa yang kau anggap cantik juga kuanggap cantik dan juga dianggap cantik oleh banyak orang. Hal itu kadang membuatku merasa jahat, karena secara tidak langsung, kita sedang menyeragamkan definisi “jelek”. Begitulah awal ceritanya. Sekarang kusederhanakan saja perkara itu. Selera kita memang sedang didikte oleh media. Definisi cantik (dari segi fisik) menurut kita hari ini boleh jadi jatuh ke tangan mereka yang mempunyai kulit terang, badan langsing, dan wajah seperti artis-artis Korea atau brand ambassador e-sport . Kurang lebih begitu dan kau boleh saja menyanggah bagian ini, meskipun hasil akhirnya tidak akan

Kasus Pembunuhan dan Kehadiran Orang Tua

Siang tadi aku melihat deretan story di platform Instagram. Seorang temanku membagikan postingan press release kasus pembunuhan di Semarang. Pelaku pembunuhan memutilasi bosnya lantaran sakit hati karena ia sering dipukuli dan dimaki-maki waktu bekerja. Aku menyimak press release itu sampai selesai dan menemukan hal-hal yang menginspirasi. Ia tidak merasa menyesal karena telah membunuh si bos dan justru merasa puas. Ia menusukkan linggis ke kepala korban dua kali pada jam sembilan malam dan pergi ke angkringan setelahnya. Kemudian ia kembali lagi ketika hari menjelang pagi dan mulai memotong tangan dan kepala korban, seperti mahasiswa yang sengaja mengerjakan tugas di ambang batas waktu. Aku membayangkan menjadi Husein, si pelaku pembunuhan, yang duduk di hadapan banyak kamera dan diberi banyak pertanyaan oleh wartawan. Jika aku yang berada di sana, kupikir ceritaku akan lebih menarik dan menggemparkan dan akan kuberi judul “Akibat Mengasuh Anak Tanpa Membaca”. Aku memilih judul it

Untuk Retno

Ini bukan kisah asmara, tapi sekali waktu Retno pernah bertanya padaku, “Bagaimana kau akan berterimakasih kepada orang yang telah menginspirasimu sedangkan ia tidak sadar bahwa kehidupan yang dijalaninya selama ini ternyata membuatmu terinspirasi?” Itu terjadi beberapa tahun lalu dan waktu itu kupikir kita tak perlu berterimakasih pada orang lain atas kehidupannya yang menginspirasi kita. * Sehari sebelum acara wisuda, aku masih belum memutuskan apakah akan berangkat atau tidak. Rasanya seperti tidak ada sedikit pun kebanggaan yang mendorongku untuk mendatangi acara wisuda. Apa yang bisa dibanggakan dari kuliah tujuh tahun dan indeks prestasi yang biasa-biasa saja. Lagi pula, keadaan mendukung keenggananku, tak ada teman yang kukenal yang akan duduk di kursi wisuda hari itu. Mereka sudah diwisuda jauh waktu sebelum aku. Sudah terbayang di kepalaku akan bagaimana bingungnya menunggu acara selesai. Hingga larut malam, ayah dan ibuku masih membujukku untuk menghadiri wisuda. Tapi aku

Sebatang Rokok dan Pungli di Sekolah

Aku terbangun oleh beberapa tepukan kecil tepat di mata kakiku. "Jo, ayo temani aku salat subuh!" Aku terbangun setengah sadar setelah semalam tertidur di sebuah gazebo dan berselimut selembar sleeping bag. Pagi itu aku tidak melanjutkan tidur.  Kami melewati pemandian warga ketika berjalan mencari masjid. Ibu-ibu di sana mandi dengan telanjang dada, kata Si Sam. Namanya Samudra. Ia tak pernah menjumpai orang-orang yang salat subuh dengan doa qunut dan setelahnya ia bilang padaku bahwa selepas i'tidal tadi ia kebablasan langsung sujud. "Wkwkwkwkwkwk," aku tertawa riang karena pernah merasakannya juga. Pagi ini kami hendak mendaki gunung Andong, tanpa rencana. Hanya karena iseng-iseng mengobrol di Whatsapp dan segera berangkat menggunakan mobil melewati jalan alternatif Jogja-Magelang, Sam tertidur dibelakang dan aku menemani Poyo menyetir di kabin depan. Dan kami mulai mendaki pukul setengah enam pagi. Gunung Andong terletak di kecamatan Grabag, kabupaten Magela