Sepasang Sepatu

Ia masih mencari pensil yang tak sengaja ia tinggalkan di atas meja kerjanya. Ia meninggalkan pensil itu ketika beranjak keluar untuk makan siang dan masih terus kepikiran ketika sudah duduk di meja makan dan ia tak mendapati pensil itu ada di tempat seharusnya saat merogoh saku kiri bajunya. Meja kerjanya cukup memakan waktu dari restoran tempatnya makan, dan ia tidak mungkin tiba-tiba pergi mencari pensil sedangkan di hadapannya masih ada seorang klien yang sudah membuat janji dengannya sejak sebulan lalu. Tetapi sepanjang pembicaraan siang itu ia masih meresahkan pensilnya. 

Dahulu ia mendapatkan pensil itu ketika masih berseragam himpunan. Ketika bertemu seorang gadis Belgia. Mereka begitu akrab hanya dalam waktu yang singkat. Dan saat kepulangan gadis itu ke Belgia, gadis itu menitipkan padanya sebatang pensil untuk dibawanya lagi ketika kelak ia melakukan kunjungan balasan ke Belgia, untuk menjemput cita-cita dan bakal kekasihnya.

Sejak itu si pensil terus dibawanya ke mana saja ia pergi, meski tak pernah digunakannya untuk menulis. Ia hanya menyimpannya saja di saku baju. Dan semua bajunya telah akrab dengan sebatang pensil tumpul itu.

Stasiun kereta Lempunyangan menjadi tempat perpisahannya dengan Rani, perempuan Belgia  yang tiba-tiba ia cintai hanya dalam beberapa minggu. Rani pergi ke bandara bersama enam rekannya dari Belgia, yang sama-sama mengikuti pertukaran pelajar di Yogyakarta. Sayangnya Amar tak cukup nyali mengantar Rani sampai ke bandara. Ia merasa akan menemui kesulitan untuk berbaur selama 30 menit dengan rekan-rekan Rani lainnya.

Kereta menjauh dari peron dan ia memandangi gerbong-gerbong kereta dengan perasaan sedih. Memaku di bangku kursi untuk beberapa lama dan ia pergi dengan hati yang kosong. Ia menghampiri sebuah toko roti. Roti dengan aroma khas, seperti bau kopi yang baru saja matang. Ia membeli sepotong roti dan memakannya di kursi tunggu stasiun sambil menghisap sebatang rokok sebelum kembali ke kampus mengikuti ujian semester yang terjadwal pukul 09.30 pagi.

Ia datang pukul 09.38 dan ujian belum mulai. Rekan-rekan sekelasnya masih menunggu kedatangan dosen Meteorologi. Salah satu kacamata rekannya jatuh persis di samping bangku tempatnya duduk. Ia merunduk mengambilkan kacamata tersebut. Kacamata milik Dewi dengan lensa yang cukup tebal. Ia hanya merasa kasihan untuk kemudian bergerak mengambilkan kacamata itu. 

Dua jam berlalu dan ia masih menatap lembar ujiannya yang kosong tanpa coretan apa pun. Ia tak tahu harus mengisinya dengan jawaban apa. Sama seperti ia yang tak tahu harus menjawab apa ketika Rani mencium bibirnya pada malam sebelum kepulangannya ke Belgia. Ia hanya ingat sepasang sepatu laki-laki yang terparkir di depan pintu kamar Rani. Dan sepasang sepatu itu membuat kepalanya tak bisa berhenti mencari-cari spekulasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru-Guru Magis

Mari Mulai Mendengarkan Souljah

Untuk Retno