Mari Mulai Mendengarkan Souljah
Sebagai seorang yang tertarik pada wanita, aku mempunyai selera sendiri, dan tentu kau juga begitu. Tapi kadang aku menemukan istilah ‘Si Paling Cantik’ di dalam sebuah habitat. Atau mungkin kau sering mendengar istilah ‘Kembang Desa’. Dua hal itu intinya sama saja; selalu merujuk pada seseorang yang banyak disukai oleh lelaki di sekelilingnya. Bahkan sesekali aku merasa kalau apa yang kau anggap cantik juga kuanggap cantik dan juga dianggap cantik oleh banyak orang. Hal itu kadang membuatku merasa jahat, karena secara tidak langsung, kita sedang menyeragamkan definisi “jelek”.
Begitulah awal ceritanya. Sekarang kusederhanakan saja
perkara itu. Selera kita memang sedang didikte oleh media. Definisi cantik (dari
segi fisik) menurut kita hari ini boleh jadi jatuh ke tangan mereka yang
mempunyai kulit terang, badan langsing, dan wajah seperti artis-artis Korea
atau brand ambassador e-sport. Kurang
lebih begitu dan kau boleh saja menyanggah bagian ini, meskipun hasil akhirnya
tidak akan jauh berbeda.
Sekarang kita simpan dulu poin itu dan aku akan bercerita sebuah
peristiwa. Begini ceritanya:
Ada dua orang cantik di tempatku mengajar. Dua orang itu
sama-sama tidak menguasai salah satu mata pelajaran yang juga tidak kukuasai:
Pelajaran Menghafal. Selanjutnya, konflik mulai berkecamuk di kepalaku ketika
hari pengambilan nilai tiba. Salah satu pengampu memberi dua orang itu nilai
tertinggi di pelajaran menghafal. Sedang aku memberi mereka nilai sesuai apa
yang dapat mereka hafalkan. Sejak hari itu aku menaruh curiga pada si pengampu.
Tapi sebelum melanjutkan cerita ini, untuk memudahkanku bercerita, kita sebut
saja dia dengan nama Pangeran Katak.
Setelah peristiwa penilaian itu, Pangeran Katak mulai
kuamati gerak-geriknya di dalam kelas. Kecurigaanku mulai membuahkan hasil di
hari keseratus tiga. Pangeran Katak memang memberikan perlakuan khusus kepada
dua orang itu. Ia banyak memberikan perhatian dan terlihat sangat antusias
ketika berinteraksi dengan dua orang itu. Sedang anak-anak lain, yang kebetulan
tak secantik dua orang itu, mendapatkan perlakuan yang biasa saja. Sedangkan
pada tiga orang yang tidak cantik, Pangeran Katak sering mengabaikan mereka.
Meskipun sudah mendapatkan hasil pengamatan, aku masih belum
tahu harus menindaklanjuti dengan cara bagaimana. Sambil aku mencari tahu
prosedurnya, aku tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku memperluas objek
pengamatanku. Dan akhirnya aku semakin dipusingkan oleh Pangeran Katak-Pangeran
Katak lainnya. Ternyata dua orang itu mendapat perlakuan khusus tidak hanya
oleh Si Pangeran Katak yang kucurigai saja. Sampai tulisan ini kubuat, aku
masih kehilangan semangat untuk menindaklanjutinya. Masih terasa seperti
mendapatkan sebuah kebenaran yang menjengkelkan.
Mari kita samakan kekhawatiran kita: Bagaimana jika
anak-anak lain menyadari perlakuan itu dan kemudian sengaja mengubah penampilan
mereka supaya mirip dengan si dua orang itu?
Kekhawatiran itu cukup masuk akal bukan? Apa lagi kita
sama-sama familiar dengan kalimat ini: Nasib baik adalah milik si cantik. Dan
kurasa kalimat itu akan selalu benar ketika banyak orang masih mengamini
definisi kecantikan yang didikte oleh media.
Permasalahan selanjutnya: kecantikan adalah bias. Bagiku
sendiri, kadang kecantikan fisik masih bisa memberi nilai lebih pada sesuatu
yang ia keluarkan dari mulutnya. Kalimat yang sama, yang diucapkan oleh si
cantik dan si jelek, kadang lebih menarik ketika diucapkan oleh si cantik. Untuk
masalah ini, mengingat perlunya menegasikan kalimat “Nasib baik adalah milik si
cantik”, aku sering mengambil langkah antisipasi supaya tak terjebak dalam
bias. Dan aku tak melarangmu jika kau punya tujuan yang sama.
Begini caranya: Musuh paling berat ada di indera
pengelihatan. Karena stimulus pertama yang kita dapatkan dari orang lain adalah
penampilan; lewat indera pengelihatan. Maka aku berusaha menempatkan variable itu
(kecantikan fisik) di nomor tujuh belas ketika hendak menilai orang lain. Cukup
sulit, tapi tidak mustahil. Resep rahasianya ada di dalam lirik Souljah, “Tak
selalu yang berkilau itu indah.”
Komentar
Posting Komentar