Guru-Guru Magis
Akhir-akhir ini aku sering kedatangan tamu dalam tidurku. Ia selalu minta kopi dan rokok kretek Gudang Garam Merah, rokok yang juga jadi andalanku ketika musim kemarau tiba. Katanya, ia adalah aku di masa depan. Tapi kadang aku tak percaya karena ia bukan orang yang pendiam.
Sekali waktu ia datang ke tidurku setelah seharian aku
berada di depan laptop, dari pagi sampai malam, menyelesaikan tugas-tugas
mahasiswa yang malas berpikir. Aku memasang tarif cukup rendah karena target
pasarku adalah kampus-kampus dengan populasi mayoritas mahasiswa tingkat
ekonomi menengah ngehe. Di akhir-akhir semester aku biasanya mendadak kaya dan
akan kembali miskin di tengah-tengah semester. Agak melelahkan, tetapi tidak
cukup membuatku jera dengan pekerjaan ini.
Waktu itu, Si Bianglala, yang suka mendatangiku akhir-akhir
ini, bicara cukup panjang hingga membuat tidurku terasa melelahkan. Begini
persisnya:
“Orang yang gemar membuka mulut biasanya juga punya
kegemaran menutup pikiran. Meskipun tidak semua, tetapi sudah kutemui cukup
banyak. Dan akhir-akhir ini pernyataan itu semakin membuat was-was karena
pekerjaan baruku: Guru Kelas. Menjadi guru kelas (meskipun aku lebih suka
menyebut diri sebagai fasilitator) ternyata membuatku lebih banyak bicara
seharian. Tetapi aku masih merasa beruntung karena belum ada satu tahun belajar
bersama anak-anak. Ada orang bilang bahwa tahun pertama adalah tahun paling berat
bagi guru-guru sekolah. Aku setuju karena di tahun pertama kita akan belajar
tentang banyak materi yang akan diajarkan; mengenal lingkungan sekolah dengan
lebih dalam; mempelajari kurikulum dan perangkat-perangkat belajar lainnya. Tahun
ke-dua tidak akan terasa seberat di tahun pertama. Logis, karena kita sudah
punya bekal mengajar dari tahun pertama. Apalagi jika kita mengajar di jenjang
yang sama; atau mengajarkan murid yang sama; atau di sekolah yang sama. Tahun
ke-dua bisa menjadi reward untuk guru-guru setelah melewati tahun pertama
karena ia akan punya lebih banyak waktu luang yang tadinya digunakan untuk
mempelajari banyak hal administrative dan struktural. Tetapi di tahun ke-dua
dan seterusnya, kukira akan menjadi fase paling penting untuk perkembangan
seorang guru. Karena di tahun-tahun itu pilihan untuk “menjadi guru yang akan
terus berkembang atau menjadi guru yang tumpul” benar-benar berada di tangan
guru itu sendiri. Membayangkan akan berhadapan dengan fase itu, aku merasa
tidak sabar sekaligus takut. Tidak sabar karena ingin segera mengembangkan
metode pembelajaran; dan takut kalau-kalau aku justru tersekap dalam rutinitas
pengajaran yang itu-itu saja—yang secara berkelanjutan akan membuatku lebih
suka membuka mulut dari pada membuka pikiran.’
“Gagasan itu sebenarnya bermula dari sebuah pertanyaan
yang kulontarkan ke seorang guru dengan pengalaman mengajar yang tidak
sebentar. Di kelasku mengajar ada
seorang anak dengan keterbatasan artikulasi yang sering membuatku memintanya
untuk mengulangi apa yang ia katakan. Di beberapa momen itu cukup menyulitkan
dan aku merasa agak bersalah karena sering meminta dia mengulangi apa yang dia
ucapkan. Karena sekali waktu aku mendapatkan kesempatan bagus untuk bertanya,
kutanyakan hal itu ke guru itu. Jawaban pertama sedikit memberi gambaran,
meskipun masih terlalu umum dan sedikit asumtif. Pertanyaan ke dua tidak
terjawab; pertanyaan ketiga ia mulai menghidari pembahasan; dan
pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah pertanyaan terpaksa karena kupikir
pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan yang ingin ia dengar dari mulutku
supaya ia bisa bercerita tentang pemikirannya sendiri. Percakapan seperti itu
tidak sepenuhnya sia-sia, karena kita bisa tahu bagaimana jalan pikirannya, dan
pengetahuan kita akan jalan pikiran orang lain akan membantu kita bagaimana
bersikap kepada orang itu. Sampai di situ aku tidak paham mengapa topik yang kutanyakan
terkesan seperti bukan topik yang menarik bagi guru dengan pengalaman
bertahun-tahun itu. Dan sangat di luar nalar, justru topik-topik magis menjadi
topik yang membuatnya antusias, yang menurutku justru sangat jauh relevansinya
dengan profesi keguruan.’
“Kejadian itu sempat mengingatkanku pada beberapa desa. Aku
pernah berkunjung ke beberapa desa dengan tingkat pendidikan yang rendah (dan
tentu kebiasaan literasinya juga rendah). Karena perlu menginap beberapa hari
di sana, tidak mungkin untuk tidak menjalin interaksi dengan orang-orang
sekitar. Kalau kau pernah membaca survey-survey tentang kebiasaan literasi, sampai
di sini kau sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan padamu selanjutnya. Ya,
rata-rata orang di desa itu sangat antusias dengan topik-topik obrolan magis.
Aku selalu menanyakan topik itu ketika mengobrol dengan mereka di angkringan.
Lebih banyak orang tua, tetapi yang muda pun tidak sedikit. Dan mereka selalu
menyambung-nyambungkan pertanyaanku dengan apa yang sebenarnya ingin mereka
ceritakan, jadi aku tak perlu repot-repot membuat pertanyaan untuk menyambung
obrolan. Justru aku kadang kesulitan untuk menyudahi obrolan. Mereka juga suka
menasehatiku tentang banyak hal.”
“Ya, kurasa topik-topik magis memang banyak disukai oleh
orang-orang yang malas membaca buku,” kataku sedikit bosan menyimak obrolan
ini.
“Sekarang kutanya padamu, apa jadinya jika guru-guru di
sekolah adalah orang-orang yang malas membaca buku, lebih suka membuka mulut,
dan terlalu sering menutup pikiran?”
“Sudahi omong kosongmu, Bangsat. Kau terlalu banyak membuka
mulut hari ini.”
Tak lama kemudian alarmku berbunyi nyaring. Aku harus melanjutkan pekerjaan mahasiswa-mahasiswa yang malas berpikir.
Komentar
Posting Komentar