Kawakawa

Aku terbangun oleh beberapa tepukan kecil tepat di mata kakiku. "Jo, ayo temani aku salat subuh!" Aku terbangun setengah sadar setelah semalam tertidur di sebuah gazebo dan berselimut selembar sleeping bag. Pagi itu aku tidak melanjutkan tidur.  Kami melewati pemandian warga ketika berjalan mencari masjid. Ibu-ibu di sana mandi dengan telanjang dada, kata Si Sam. Namanya Samudra. Ia tak pernah menjumpai orang-orang yang salat subuh dengan doa qunut dan setelahnya ia bilang padaku bahwa selepas i'tidal tadi ia kebablasan langsung sujud. "Wkwkwkwkwkwk," aku tertawa riang karena pernah merasakannya juga. Pagi ini kami hendak mendaki gunung Andong, tanpa rencana. Hanya karena iseng-iseng mengobrol di Whatsapp dan segera berangkat menggunakan mobil melewati jalan alternatif Jogja-Magelang, Sam tertidur dibelakang dan aku menemani Poyo menyetir di kabin depan. Dan kami mulai mendaki pukul setengah enam pagi. Gunung Andong terletak di kecamatan Grabag, kabupaten Magela

 Pukul tujuh aku terbangun dengan kepala yang masih berat dan tanpa ingatan pukul berapa aku tertidur semalam. Hari itu aku segera mandi dan memakai kaos polo merah, hendak menemui dua kepala sekolah yang sebelumnya sempat kubicarakan dengan Si Jago. Motor bebek merah yang biasa kupakai masih terstandar miring di garasi. Aku mengambil kunci di laci bawah tangga dan segera mengeluarkan si bebek merah untuk dipanaskan. Ia tidak bisa dinyalakan dengan stater seperti motor sehat lainnya.  Aku harus menyelahnya dua tiga kali terlebih dahulu. Dan ia nyala, sedikit meraung-raung, kutunggui ia sedikit panas sambil duduk di kursi panjang mengenakan sepatu pemberian pamanku. Aku mengendarai motor sambil berbicara sendiri. Sebuah kebiasaan yang sudah sejak lama kulakukan dan aku tak tahu kapan tepatnya aku mulai melakukan kebiasaan ini. Asal kau tahu, aku juga sering melakukannya ketika sedang berak. Kebiasaan itu membantuku merapihkan gagasan yang muncul secara semrawut di kepalaku. Dan aku