Sebatang Rokok dan Pungli di Sekolah

Aku terbangun oleh beberapa tepukan kecil tepat di mata kakiku. "Jo, ayo temani aku salat subuh!" Aku terbangun setengah sadar setelah semalam tertidur di sebuah gazebo dan berselimut selembar sleeping bag. Pagi itu aku tidak melanjutkan tidur. 

Kami melewati pemandian warga ketika berjalan mencari masjid. Ibu-ibu di sana mandi dengan telanjang dada, kata Si Sam. Namanya Samudra. Ia tak pernah menjumpai orang-orang yang salat subuh dengan doa qunut dan setelahnya ia bilang padaku bahwa selepas i'tidal tadi ia kebablasan langsung sujud. "Wkwkwkwkwkwk," aku tertawa riang karena pernah merasakannya juga.

Pagi ini kami hendak mendaki gunung Andong, tanpa rencana. Hanya karena iseng-iseng mengobrol di Whatsapp dan segera berangkat menggunakan mobil melewati jalan alternatif Jogja-Magelang, Sam tertidur dibelakang dan aku menemani Poyo menyetir di kabin depan. Dan kami mulai mendaki pukul setengah enam pagi.

Gunung Andong terletak di kecamatan Grabag, kabupaten Magelang. Memiliki ketinggian 1700an. Dan waktu kami mendaki, gunung ini cukup ramai dikunjungi wisatawan. Mulai dari muda-mudi yang tidur berdua satu tenda hingga keluarga besar yang menghabiskan waktu liburan bersama. Dari semua wisatawan yang berkunjung, ada satu orang yang tiba-tiba menghampiri kami. Ingin membeli rokok kami karena ia kehabisan rokok. "Ambil saja, ndak usah dibeli. Kalau mau beli, satunya 50 ribu," kata Si Poyo.

Setelah sarapan dan menghabiskan sebatang rokok di puncak, kami kembali menuju base camp. Berhenti satu dua kali di perjalanan turun. Menyapa pendaki yang berpapasan dan kadang diteruskan ngrasani setelahnya. 

Siangnya kami sudah tiba di rumah Sam. Bertemu ayah Sam dan mengobrol ke sana-kemari. Seperti biasanya, aku mengambil peran sebagai penyimak. Mengamati mimik muka ayah Sam yang sedang berbicara. Ada satu dua raut muka ayah Sam yang kugaris bawahi dan akan kutanyakan pada Poyo ketika sudah tidak di sana.

Ia menjelaskan, itu mimik muka karena ada emosi yang ia rasakan dengan kuat. Mimik itu, seingatku, memang muncul ketika mereka mengobrolkan topik pungli di sekolah, ketika ayah Sam bilang, "di negeri ini, orang miskin itu tidak boleh pintar."

Sebenarnya, yang sedang kupikirkan waktu ayah Sam bilang begitu adalah sebatang rokok yang tidak jadi dibeli tadi. Aku masih tidak habis pikir ada orang yang rela mengeluarkan sepuluh ribu untuk sebatang rokok. Betapa ia pasti ingin sekali merokok waktu itu.

Coba bayangkan, jika keinginan orang tua agar anaknya pintar hanya bisa diakomodir lewat pendidikan, seperti sebatang rokok di puncak Andong tadi pagi, bukankah itu berarti pendidikan menyimpan potensi sebagai lahan yang paling basah untuk melakukan pungli?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guru-Guru Magis

Mari Mulai Mendengarkan Souljah

Untuk Retno