Kasus Pembunuhan dan Kehadiran Orang Tua
Siang tadi aku melihat deretan story di platform Instagram. Seorang temanku membagikan postingan press release kasus pembunuhan di Semarang. Pelaku pembunuhan memutilasi bosnya lantaran sakit hati karena ia sering dipukuli dan dimaki-maki waktu bekerja. Aku menyimak press release itu sampai selesai dan menemukan hal-hal yang menginspirasi. Ia tidak merasa menyesal karena telah membunuh si bos dan justru merasa puas. Ia menusukkan linggis ke kepala korban dua kali pada jam sembilan malam dan pergi ke angkringan setelahnya. Kemudian ia kembali lagi ketika hari menjelang pagi dan mulai memotong tangan dan kepala korban, seperti mahasiswa yang sengaja mengerjakan tugas di ambang batas waktu.
Aku membayangkan menjadi Husein, si pelaku pembunuhan, yang
duduk di hadapan banyak kamera dan diberi banyak pertanyaan oleh wartawan. Jika
aku yang berada di sana, kupikir ceritaku akan lebih menarik dan menggemparkan
dan akan kuberi judul “Akibat Mengasuh Anak Tanpa Membaca”. Aku memilih judul
itu bukan karena ayah dan ibuku lebih sering membuka mulut daripada membuka
telinga. Tetapi karena menurutku berita anak membunuh orang tua memang
terdengar ironis dan selalu mendapat banyak perhatian. Apa lagi ceritanya akan
lebih menarik jika si ayah menjadi korban sebab selalu menyetel tivi keras-keras
ketika anaknya sedang belajar; selalu menaikkan suara ketika gagasan buruknya
tidak diterima; dan selalu menghabiskan uang hasil bekerja untuk membeli raket.
Si ibu tak perlu dikerat lehernya. Ia akan menemui ajal
secara perlahan karena mengalami depresi. Awalnya ia tidak mau makan dan tak
mau mandi dan lama-lama kesehatannya memburuk. Kemudian di akhir tahun ia mati
membusuk sebatang kara di dalam rumahnya sebab si anak tak mungkin mengurusnya
karena berada di penjara. Dan supaya cerita itu lebih menarik, akan kubuka
cerita itu menggunakan kalimat seperti milik Tolstoy, “Keluarga yang bahagia
memiliki kebahagiaan yang sama, tapi keluarga yang menderita memiliki jalan
penderitaannya masing-masing.”
Kadangkala kupikir orang tua hanyalah seorang anak yang menjadi
tua karena termakan usia. Di satu waktu mereka menikah ketika orang seusianya
sudah menikah, kemudian mempunyai anak karena sudah menikah, dan kemudian
menanggung kewajiban membesarkan anak sambil berjalan menua. Tidak ada jaminan bahwa mereka menua dengan mendapatkan
kesempatan berpikiran lebih terbuka; mengubah sikap menjadi lebih dewasa;
apalagi berdamai dengan masa lalu mereka.
Seorang anak yang tumbuh (menjadi orang tua) seperti itu sempat
kutemukan di kaki gunung Baladuk, tempatku memberi pelajaran tambahan kepada
Syahrir. Ia tinggal bersama neneknya, orang tua
dari orang tuanya (itu berarti sudah setingkat lebih tinggi di atas orang tua). Syahrir adalah anak yang tidak betah diam lama-lama
dan ia anak yang senang bercerita. Tentu metode
belajarnya juga sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Ia
memiliki obsesi terhadap cerita-cerita pemberontakan yang menewaskan banyak
orang. Ia memiliki cukup pengetahuan tentang peristiwa
pengganyangan PKI. Aku tak tahu ia mendapatkan pengetahuan itu dari mana, tapi
yang jelas obsesi itu cukup memudahkanku memancing antusiasme belajarnya. Kadang ketika bosan ia memintaku bercerita tentang
Aidit; atau kadang juga membujukku menyanyikan “Internationale” bersama-sama. Dan ia senang menggambar palu arit di mana-mana.
Satu semester aku bersamanya dan ia tidak pernah benar-benar
bisa menyimak dengan anteng. Ia selalu banyak tingkah dan lebih banyak bicara
daripada aku. Tetapi meski begitu, ujiannya selalu mendapat nilai di atas
rata-rata kelas. Hal itu menyenangkan karena aku
hanya perlu sesekali bicara dan lebih banyak mendengar dan ia sudah otomatis
memahami pelajarannya. Masih ditambah orang tua
Syahrir di Jakarta selalu berterimakasih kepadaku karena nilai ujiannya jadi
lebih baik semenjak kutemani belajar. Sungguh
anak yang ajaib. Tak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan di dunia ini daripada
menghabiskan sore bersama Syahrir.
Sayangnya si nenek tidak melihat hal itu sebagai sebuah
kecerdasan yang unik. Si nenek selalu menganggap Syahrir sebagai anak yang
cerewet, nakal, tak bisa diatur, dan bodoh. Dan kau pasti sudah bisa
mengira-ngira bagaimana perlakuan si nenek terhadap Syahrir. Terkadang hal itu
sampai membuatku khawatir jika Syahrir tumbuh menjadi seorang anak yang suatu
saat, tanpa diduga-duga, mengambil peran dalam berita pembunuhan seorang nenek dan
diterbitkan di sebuah surat kabar atau di postingan akun Instagram Polrestabes.
Tentu aku akan merasa menjadi orang yang paling bersalah jika itu benar-benar
terjadi.
Meskipun sudah 655 kata, tapi tulisan ini belum selesai. Aku
masih ingin menyampaikan satu hal lagi padamu. Aku teringat ada seorang ibu
dari temanku yang akan memberimu wawasan menyegarkan bahwa orang tua tidaklah
selalu lebih suka menutup pikirannya. Meskipun mungkin hanya satu orang diantara
dua juta lebih penduduk negara ini, tapi setidaknya masih ada. Begini kira-kira
kisahnya:
Sebagai anak yang dibesarkan oleh Asian parents, seberapa sering dirimu mendapat permintaan maaf dari
orang tuamu sendiri secara tiba-tiba dan bukan di momen lebaran? Kalau bukan tidak
pernah, pasti jawabannya ada di angka satu atau dua kali seumur hidup. Sama. Ekosistem
keluarga tempatku bertumbuh juga terasa begitu jauh dari perkataan maaf. Kalau “terimakasih”
atau “tolong” mungkin sesekali masih sempat kudengar kata-kata itu.
Sore itu, ketika sedang berkencan bersama kekasihku, ada satu
tweet temanku yang muncul di timeline. Tweet itu menunjukkan bahwa ibunya baru
saja mengirim postingan yang isinya kira-kira tentang “luka masa lalu orang tua
yang dilampiaskan kepada anak.” Si ibu itu mengirim ke anaknya lewat direct
message dan diikuti permintaan maaf jika selama membesarkan anaknya ia terkadang
tidak sengaja melampiaskan luka masa lalunya kepada si anak. Mataku seperti terasa
berair setelah membaca tweet itu.
Sampai saat ini, aku hanya bisa membayangkan, atau mungkin
kaupun juga sama, jika seandainya yang mengirimkan itu adalah ibu atau ayah
kita; yang selama ini jarang sekali meminta maaf pada anaknya; bukankah itu
adalah sebuah revolusi dalam rumah tangga? Tapi sepertinya hal itu terlalu
utopis. Orang tua kita agaknya sudah terlanjur nyaman menyumpal telinga dan
menutup mata.
Sebelum tulisan ini kuakhiri, karena aku sebenarnya tidak
begitu yakin bahwa kau mempunyai kemampuan untuk mengambil nilai dari tulisan
ini, jadi kurasa aku perlu membantumu dengan sebuah pertanyaan: “Jika satu hari
nanti kebetulan kau menjadi orang tua, kira-kira modelan orang tua bagaimana
yang kau inginkan untuk menemani tumbuh kembang anakmu?”
Komentar
Posting Komentar